Mini
sheet “Wayang Kulit” ini terdiri dari 6 buah perangko bergambar
Pandawa dengan nominal masing-masing Rp 5.000 dan satu perangko
bergambar Gunungan dengan harga nominal Rp 20.000 yang terbuat dari
kulit asli. Mini sheet ini diterbitkan oleh PT POS Indonesia dalam
rangka World Stamp Championship yang diselenggarakan di Jakarta dari
tanggal 18-24 Juni 2012.
Pandawa
adalah
sebuah kata
dari
bahasa
Sanskerta
yang secara harfiah
berarti
anak Pandu
yaitu salah satu Raja Hastinapura
dalam
wiracarita Mahabharata.
Dengan demikian, maka Pandawa merupakan putra mahkota kerajaan
tersebut. Dalam wiracarita
Mahabharata,
para Pandawa adalah protagonis
sedangkan
antagonis
adalah
para Korawa,
yaitu putera Dretarastra,
saudara ayah mereka (Pandu).
Menurut susastra
Hindu (Mahabharata),
setiap anggota Pandawa merupakan penjelmaan (penitisan) dari Dewa
tertentu,
dan setiap anggota Pandawa memiliki nama lain tertentu.
Para
Pandawa terdiri dari lima orang pangeran, tiga di antaranya
(Yudistira,
Bima,
dan Arjuna)
merupakan putra kandung Kunti,
sedangkan yang lainnya (Nakula
dan
Sadewa)
merupakan putra kandung Madri,
namun ayah mereka sama, yaitu Pandu.
Yudistira
merupakan
saudara para Pandawa yang paling tua. Ia merupakan penjelmaan dari
Dewa Yama
dan
lahir dari Kunti.
Sifatnya sangat bijaksana, tidak memiliki musuh, dan hampir tak
pernah berdusta seumur hidupnya. Memiliki moral yang sangat tinggi
dan suka mema’afkan serta suka mengampuni musuh yang sudah
menyerah. Memiliki julukan Dhramasuta
(putera
Dharma),
Ajathasatru (yang
tidak memiliki musuh), dan Bharata
(keturunan
Maharaja
Bharata).
Ia menjadi seorang Maharaja dunia setelah perang
akbar di Kurukshetra berakhir
dan mengadakan upacara Aswamedha
demi
menyatukan kerajaan-kerajaan
India Kuno agar
berada di bawah pengaruhnya. Setelah pensiun, ia melakukan perjalanan
suci ke gunung Himalaya
bersama
dengan saudara-saudaranya yang lain sebagai tujuan akhir kehidupan
mereka. Setelah menempuh perjalanan panjang, mereka mendapatkan
surga.
Bima
merupakan
putra kedua Kunti
dengan
Pandu.
Nama bhima dalam
bahasa
Sanskerta memiliki
arti "mengerikan". Ia merupakan penjelmaan dari Dewa Bayu
sehingga
memiliki nama julukan Bayusutha.
Bima sangat kuat, lengannya panjang, tubuhnya tinggi, dan berwajah
paling sangar di antara saudara-saudaranya. Meskipun demikian, ia
memiliki hati yang baik. Pandai memainkan senjata gada.
Senjata gadanya bernama Rujakpala dan pandai memasak. Bima juga gemar
makan sehingga dijuluki Werkodara.
Kemahirannya dalam berperang sangat dibutuhkan oleh para Pandawa agar
mereka mampu memperoleh kemenangan dalam pertempuran
akbar di Kurukshetra.
Ia memiliki seorang putera dari ras rakshasa
bernama
Gatotkaca,
turut serta membantu ayahnya berperang, namun gugur. Akhirnya Bima
memenangkan peperangan dan menyerahkan tahta kepada kakaknya,
Yudistira.
Dalam pewayangan Jawa, dua putranya yang lain selain Gatotkaca ialah
Antareja
dan
Antasena.
Arjuna
merupakan
putra bungsu Kunti
dengan
Pandu.
Namanya (dalam bahasa
Sanskerta)
memiliki arti "yang bersinar", "yang bercahaya".
Ia merupakan penjelmaan dari Dewa Indra,
Sang Dewa perang. Arjuna memiliki kemahiran dalam ilmu memanah dan
dianggap sebagai ksatria
terbaik
oleh Drona.
Kemahirannnya dalam ilmu peperangan menjadikannya sebagai tumpuan
para Pandawa agar mampu memperoleh kemenangan saat pertempuran
akbar di Kurukshetra.
Arjuna memiliki banyak nama panggilan, seperti misalnya Dhananjaya
(perebut
kekayaan – karena ia berhasil mengumpulkan upeti saat upacara
Rajasuya
yang
diselenggarakan Yudistira);
Kirti (yang
bermahkota indah – karena ia diberi mahkota indah oleh Dewa Indra
saat
berada di surga);
Partha (putera
Kunti
– karena
ia merupakan putra Perta alias Kunti).
Dalam pertempuran
di Kurukshetra,
ia berhasil memperoleh kemenangan dan Yudistira
diangkat
menjadi raja. Salah satu puteranya bernama Abimanyu gugur di medan
pertempuran dikeroyok oleh para Korawa. Dikemudian hari anak Abimanyu
yang bernama Parikesit dinobatkan menjadi raja menggantikan Yudistira
yang mengundurkan diri bersama para Pandawa ke Himalaya.
Nakula
merupakan
salah satu putera kembar pasangan Madri
dan
Pandu.
Ia merupakan penjelmaan Dewa kembar bernama Aswin,
Sang Dewa pengobatan. Saudara kembarnya bernama Sadewa,
yang lebih kecil darinya, dan merupakan penjelmaan Dewa Aswin
juga.
Setelah kedua orangtuanya meninggal, ia bersama adiknya diasuh oleh
Kunti,
istri Pandu
yang
lain. Nakula pandai memainkan senjata pedang.
Dropadi
berkata
bahwa Nakula merupakan pria yang paling tampan di dunia dan merupakan
seorang ksatria berpedang yang tangguh. Ia giat bekerja dan senang
melayani kakak-kakaknya. Dalam masa pengasingan di hutan, Nakula dan
tiga Pandawa yang lainnya sempat meninggal karena minum racun, namun
ia hidup kembali atas permohonan Yudistira.
Sadewa
merupakan
salah satu putera kembar pasangan Madri
dan
Pandu.
Ia merupakan penjelmaan Dewa kembar bernama Aswin,
Sang Dewa pengobatan. Saudara kembarnya bernama Nakula,
yang lebih besar darinya, dan merupakan penjelmaan Dewa Aswin
juga.
Setelah kedua orangtuanya meninggal, ia bersama kakaknya diasuh oleh
Kunti,
istri Pandu
yang
lain. Sadewa adalah orang yang sangat rajin dan bijaksana. Sadewa
juga merupakan seseorang yang ahli dalam ilmu astronomi.
Yudistira pernah
berkata bahwa Sadewa merupakan pria yang bijaksana, setara dengan
Brihaspati,
guru para Dewa.
Ia giat bekerja dan senang melayani kakak-kakaknya.
Gunungan
adalah
wayang
berbentuk
gambar gunung
beserta
isinya. Di bawahnya terdapat gambar pintu gerbang yang dijaga oleh
dua raksasa
yang
memegang pedang
dan
perisai.
Itu melambangkan pintu gerbang istana , dan pada waktu dimainkan
gunungan dipergunakan sebagai istana.
Di sebelah atas gunung terdapat pohon kayu yang dibelit oleh seekor
ular
naga. Dalam
gunungan tersebut terdapat juga gambar berbagai binatang hutan.
Gambar secara keseluruhan menggambarkan keadaan di dalam hutan
belantara. Gunungan melambangkan keadaan dunia beserta isinya.
Sebelum wayang dimainkan, Gunungan ditancapkan di tengah-tengah
layar,
condong sedikit ke kanan yang berarti bahwa lakon wayang belum
dimulai, bagaikan dunia yang belum beriwayat. Setelah dimainkan,
Gunungan dicabut, dijajarkan di sebelah kanan.
Gunungan
dipakai juga sebagai tanda akan bergantinya lakon/tahapan cerita.
Untuk itu gunungan ditancapkan di tengah-tengah condong ke kiri.
Selain itu Gunungan digunakan juga untuk melambangkan api atau angin.
Dalam hal ini Gunungan dibalik, di sebaliknya hanya terdapat cat
merah-merah, dan warna inilah yang melambangkan api. Gunungan
juga dipergunakan untuk melambangkan hutan rimba, dan dimainkan pada
waktu adegan rampogan,
tentara yang siap siaga dengan bermacam senjata. Dalam hal ini
Gunungan bisa berperan sebagai tanah, hutan rimba, jalanan dan
sebagainya, yakni mengikuti dialog dari dalang.
Setelah lakon selesai, Gunungan ditancapkan lagi di tengah-tengah
layar, melambangkan bahwa cerita sudah tamat.
-o0o-
Philatelist:
Neno Ruseno
Referensi:
Wikipedia
No comments:
Post a Comment